Jumat, 07 Januari 2011


QUO VADIS SAB


BENNY - bukan nama sebenarnya duduk murung dikursi sofa dirumah seorang sahabatnya yang mantan lulusan Sekolah Alkitab Beji. Mereka bersahabat sejak dari Sekolah Alkitab yang terletak di kota dingin Batu Malang, Jawa Timur. Sahabatnya itu bukanlah seorang gembala sidang tetapi menjadi seorang produser program di sebuah stasiun radio. Hidupnya kini berkecukupan sementara Benny masih menjadi pembantu pendeta di sebuah gereja dengan seorang anak yang masih batita.

Dia pun berkeluh kesah dengan banyaknya kebutuhan rumah tangga lalu tercetus niatnya untuk berusaha merintis sebuah jemaat sehingga kebutuhan hidup bisa terpenuhi. Sayang belum ada titik terang. Karena untuk bisa merintispun butuh modal yang tak sedikit. Sementara gembalanya sendiri seolah lepas tangan. Malahan berharap Benny bisa menjadi pengerja seumur hidup dengan hanya memberikan uang saku Rp 300.000 sebulan.

“Mana cukup”, keluhnya. Dalam kemurungannya Benny menggumam, jika tahu masa depan lulusan Sekolah ALkitab suram, maka dia tidak akan mau masuk ke sana. Tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. Kantor yang megah sudah dia tinggalkan. Kini dia mesti menyusuri setiap areal perumahan yang belum tentu ‘kosong’ plus ‘ancaman’ dan ‘intimidasi’ gembala sidang terdekat untuk menemukan tempat bagi pelayanannya. Itupun tidak mudah.

Dengan begitu ketatnya sistem pembagian wilayah pelayanan yang ada di GPdI dan susahnya mencari sponsor untuk mendukung perintisan jemaat ditambah lagi dengan keluarnya Peraturan Bersama dua menteri yang mengatur sebuah gereja mesti memiliki sembilan puluh jemaat baru bisa berdiri maka semakin menambah kesemerautan dalam dada Benny.

Siswa-siswi Sekolah Alkitab (SA) seperti di GPdI misalnya memang setelah tamat didorong untuk langsung terjun membuka pelayanan baik di kota maupun di desa-desa yang sulit dijangkau dengan kendaraan umum. Mereka pergi tanpa kenal takut dan kenal lelah, bahkan tanpa bekal uang yang memadai. Juga tanpa sponsor utama dari sebuah gereja induk. Mereka hanya berangkat dengan modal semangat dalam dada bahwa mereka mesti menambah jumlah sidang jemaat di lingkungan GPdI dan tentu saja menjamin kesejahteraan hidupnya. Karena mereka makan dan memenuhi segala kebutuhannya dari pelayanan yang mereka rintis itu.

Sayang, semangat yang berkobar disetiap sanubari siswa-siswi yang akan ditamatkan dari setiap angkatan SA itu lantas pudar seiring sulitnya birokrasi serta kurangnya dukungan moral maupun materil baik dari Sinode gereja maupun dari gereja lokal. Seorang kawan yang merintis GPdI di Bekasi mengeluh karena hanya diberi jatah Rp 500.000 untuk biaya kontrak rumah tempat ibadah oleh sinode gereja lewat Pimpinan Majelis Daerah. “Itupun cairnya sukar minta ampun. Apalagi jika orangnya tidak satu suku dengan si bendahara. Mana cukup sih uang segitu sementara kontrakan yang mesti dibayar 7,5 juta?” katanya menggerutu.

Hal itu masih ditambah dengan harus menerima kenyataan akibat hadangan dari kebijakan pemerintah yaitu Peraturan Bersama Dua Menteri mengenai pendirian rumah ibadah.

Sejak tahun 2006, lahirnya Perber, secara tidak langsung, disadari atau tidak telah mematahkan semangat setiap siswa-siswi yang memiliki keinginan untuk untuk membuka sidang baru. Kenapa? Karena Perber Dua Menteri itu mengatur jumlah orang yang harus berkumpul dan melakukan ibadah.

Lantas bagaimana jalan keluarnya? Jalan keluarnya ada di tangan bapak-bapak pimpinan di sinode gereja dari tingkat pusat sampai daerah. Maukah mereka peduli dengan angkatan muda perintis jemaat dibawahnya? Ataukah mereka tetap akan membiarkan uang kas gereja di korupsi untuk kepentingan sendiri dan suatu pemborosan percuma dari suatu kegiatan yang hanya seremonial belaka?

Maukah mereka menyalurkan setiap lulusan SA itu di bidang pelayanan lain? Maukah mereka menciptakan kurikulum pengajaran yang bisa membekali para lulusan SA itu ketika terjun ke masyarakat? Antara lain menjadi seorang penginjil, guru Agama di sekolah-sekolah (TK, SD,SMP, SMA), atau pula menjadi pekerja media sebagai pewarta Injil lewat media cetak dan media elektronik maupun menjadi pekerja di kantor pelayanan sosial atau yayasan rohani, peternak bahkan petani.

Semua itu tidak mudah. Ini membutuhkan pembekalan Khusus terlebih dahulu. Oleh karena itu, kalau ini juga merupakan solusi yang dipikirkan bapak-bapak pengurus yang duduk dilingkungan pejabat pekerja sinode maka sejak dini memang mereka sudah harus melakukan berbagai persiapan dan pembekalan bagi para lulusan Sekolah Alkitab itu. Supaya mereka tidak keleleran kesana kemari atau menjadi pekerja non produktif maupun pengangguran terselubung di balik tembok-tembok gereja. Semoga saja ada perhatian untuk mereka.(hendra kasenda)

2 komentar:

  1. Sambil tersenyum berkomentar..."...benar-benar protret lulusan SAB..."....semoga cepat ada solusi yang tepat.....

    BalasHapus
  2. boleh tanya ga ni,,, SAB dapat lagu2nya dari mana yaa??? kok kami cari di gogle ga ada semua....
    lagu nya memberkati banget dan kami ingin lagu itu juga kami nyanyikan dalam ibadah,, kalo boleh tau kasih link nya yaa,,,
    terlebih kantata yang tampil di GPPS Anugerah Malang 18 April 2014 kemarin,,,,
    #Please

    BalasHapus